APA JADI DIRI KITA SEBAGAI HOMO SAPIENS DAN SEBAGAI BAGIAN DARI SEBUAH BANGSA INDONESIA?
APA JATI DIRI KITA?
SEBUAH RANGKUMAN (BUKAN ILMIAH) TTG JATI DIRI KITA. HOMO SAPIENS dan NUSANTARA.
Silahkan baca di sini, bila ingin lebih rapi: Buku1_jati_diri
BAB I
BERGESERNYA KEJATIDIRIAN KITA (KARENA) ERA KOLONIAL?,
BERGESERNYA KEJATIDIRIAN KITA PADA ERA MODERN.
NUSANTARA: Zaman Keemasan
Seorang jati yang bersumpah akan menyatukan nusantara dalam sumpah palapanya, degan kehendak yang kuat dan berantusias ia berhasil menyatukan hampir seluruh nusantara dan kini namanya dikenal, ia adalah patih Gajah Mada. Gajah mada merupakan kunci kejayaan Majapahit, ia memulai perannya sebagai pengawal raja pada masa pemerintahan Jayanegara, yang merupakan putra Ragen Wijaya yang bersal dari kerajaan Melayu Dharmasraya. Kemudiian kepemimpinan diimpin oleh Tribhuwana Tunggadewi.
Tribhuwana Tunggadewi adalah putri Raden Wijaya dan Gayatri Rajapatni. Pada saat pemerintahannya, Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih. Saat masa pertumbuhan Majapahit (1309-1350) Gajah Mada mengucapkan sumpah palapa yang terkenal itu. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati makanan enak sebelum berhasil menaklukan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit. Pada tahun ini juga lahirlah Hayam Wuruk. Pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi terkenal sebagai masa ekspansi wilayah Majapahit ke segala arah yang dipimpin oleh Gajah Mada sebagai pelaksana sumpah palapa dan kemudian ekspansi terus dilanjutkan juga pada masa Hayam Wuruk memimpin.
Pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi berakhir ketika sang ibunda, Gayatri, meninggal pada tahun 1350. Tribhuwana mengundurkan diri, karena ia memerintah untuk mewakili sang ibunda dan pada saat sang ibunda sudah tiada ia mengundurkan diri. Kemudia tahta kerajaan diserahkan kepada putra Tribhuwana, Hayam Wuruk, ia dibimbing oleh sang ibunda untuk urusan kerajaan yang sangat kompleks karena faktor usia (16/17tahun)juga yang masih sangat muda. Dengan dari bimbingan sang ibunda Hayam Wuruk membawa kerajaan Majapahit pada masa Keemasannya.
Tidak diketahui secara pasti, kapan tepatnya Tribhuwana meninggal dunia. Di dalam kitab pararaton hanya memberikan informasi bahwa ia wafat setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih (1371) lalu, jasad sang Ratu di dharmakan di candi Pantarapura.
Bahwa, dari sejarah di atas, kita dapat memetik buah lalu memakannya secukupnya, tidak perlu sampai terlalu kenyang, karena menurut 7 dosa besar dalam agama Kritsten itu adalah sebuah “dosa ringan” karena keserakahan. di “Summa Theologiae” St. Thomas Aquinas mengutip kata-kata St. Agustinus ketika menjawab keberatan bahwa kerakusan bukanlah dosa; “Seseorang yang menikmati daging dan minum lebih dari yang dibutuhkan haruslah mengetahui bahwa hal ini termasuk salah satu dosa ringan.”
Buah yang dipetik itu bernama, “ Tahu Diri ” akan performa, kualitas, kapasitas memimpin. Tribhuwana hanya mewakili atau memenuhi amanat dari Gayatri, sang ibunda. Setelah sang ibunda inalilahi, Tribhuwana melengserkan diri. Kemudian, membimbing putranya untuk memimpin kerajaan, masa depan berada di tangan seorang raja yang masih sangat muda itu berkuasa. Buah jika dibiarkan terlalu lama akan Membusuk, jika dipetik terlalu cepat Belum Matang. Bahwa, jabatan atau takhta juga mempunyai kadar kadaluwarsa yang harus segera di ganti, selain kadaluwarsa, jabatan mempunyai kadar kematangan yang harus diperoleh.
Hal ini seakan dilupakan oleh kita, akhir-akhir ini pada awal bulan tahun 2024, tahun pemilu “pesta demokrasi”, terjadi sebuah kejadian dimana Mahkamah Konstitusi mengubah aturan capres dan cawapres untuk memimpin (pasal 169 huruf q undang-undang nomor 7 tahun 2017) untuk mencalonkan anak presiden sebagai cawapres, yang mana ia adalah paman dari anak presiden tsb. Mungkin di zaman Majapahit adalah Dinasti, namun para pejabat, patih, mahapatih yang ingin memimpin harus membuktikan dulu kemampuan dan prestasi yang dapat ia lakukan bukan soal kekayaan dan kelas sosial yang di punya, ”Mirokrasi”. Itulah yang menjadi salah satu faktor kerajaan Majapahit dapat mengalami masa Keemasannya. Konflik internal/eksternal juga menjadi pemicu dari awal keruntuhan sebuah kerajaan, khilafah, bangsa dan negara. Keruntuhan majapahit digantikan oleh Kesultanan Demak yang berciri khas Islam. Dibalik keruntuhan muncul harapan yang baru.
“THE GOLDEN AGE”
Penegakan hukum pada masa Majapahit, dikenal tidak pandang bulu. Bahkan para pejabat yang korupsi akan langsung dieksekusi hukuman mati. Slogan “Korupsi adalah budaya kita” adalah tidak tepat. Karena, pada masa Majapahit berkuasa para pelaku korupsi di hukum mati. Slogan itu mungkin muncul karena rasa kekecewaan pada pemerintahan kita yang mana korupsi sudah merajalela dan sudah dianggap seperti budaya sebuah bangsa. Coba, kita beristirahat sejenak, lalu lihat berita maka di laman web akan muncul berita korupsi entah dari pejabat pemerintahan hingga sampai bawahannya, akan muncul headline “Korupsi”. Dan kita menanggapinya seperti sudah budaya kita, dan apakah koruptor di hukum yang sepadan dengan perbuatannya? Saya justru terkejut saat melihat video MataNajwa yang bersegmen “Pura-Pura Penjara” di youtube, di situ diperlihatkan dengan gamblang bahwa para koruptor tidak seperti dalam hukuman sama sekali. Mereka bukannya berada di dalam jeruji tapi di sebuah kamar yang lebih bagus dari kamar yang saya miliki! Mereka dengan senang hati diperbolehkan untuk keluar masuk kamar dengan dalih “operasi” ke rumah sakit. Itu kata mereka sendiri, bukan kata saya. Ini berbanding terbalik dengan masa Kerajaan Majapahit berkuasa, ini sebuah realitas pahit dan harus segera dirubah.
CATATAN KAKI:
https://www.kompas.id/baca/riset/2021/06/20/hukum-pidana-era-majapahit-dari-menebang-pohon-hingga-korupsi-menteri
https://www.hops.id/trending/29410791133/era-ketegasan-hukum-dalam-kerajaan-majapahit-koruptor-dan-pencuri-dapat-hukuman-mati-tanpa-pandang-bulu
https://direktorimajapahit.id/halaman/masa-kejayaan-1293-1389
https://id.wikipedia.org/wiki/Tribhuwana_Wijayatunggadewi
https://tirto.id/sejarah-hidup-tribhuwana-wijayatunggadewi-sri-ratu-majapahit-geet
https://id.wikipedia.org/wiki/Tujuh_dosa_mematikan
TRADISI GOTONG ROYONG YANG DI LUPAKAN
Masyarakat Nusantara, khususnya jawa adalah masyarakat yang Sering kali menerapkan dan menjunjung tinggi Gotong Royong. Ambil contoh pada saat Saudara maupun tetangga kita akan mengadakan “hajatan” atau acara besar, saat Satu tetangga diketahui sedang akan mengadakan hajatan maka tetanga yang lain akan membantu tanpa diminta, atau Setidaknya jika tetangga yang lain mengetahui bahwa satu tetanganya akan mengadakan “hajatan”, maka tetangga lain akan ada yang memberi tahu Informasi tsb pada orang lain, dan tetangga lainnya akan ikut membuntu. Biasanya Laki-laki ikut membantu menyiapkan perlengkapannya, Seperti Mengangkat kursi, mengangkut meja, dsb. Sedangkan perempuan. “Ibu-Ibu” khususnya, dan membantu memasak, menyiapkan bahan-bahan masakan, menyapu mengepel, Bersama-sama menyiapkan segala kebutuhan pangan. Mereka melakukannya bahkan ada yung tampa diminta dibayar atau bahkan disuruh. Tetapi, mengapa mereka melakukan Itu?
Hal itu dilakukan agar pada saat mereka ingin mengadakan suatu acara atau hal semacam itu, setidaknya mereka dibantu oleh orang yang dulu pernah dibantunya. Tentu saja itu adalah hanya satu dari sekian banyak penyebab yang menyebabkan terjadinya tradisi gotong royong ini. Sepertinya mereka mempunyai sebuah perpatah yang mengatakan bahwasanya “Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan.“ yang secara tidak langsung maupun langsung di anut oleh masyakarat kita. Namun, petuah itu memiliki beberapa kekurangan dalam penerapannya, misalkan jika kita memperlakukan orang lain dengan cara kita ingin diperlakukan oleh orang lain, apakah orang lain itu ingin diperlakukan seperti apa yang kita perlakukan orang tsb sebagaimana kita ingin diperlakukan? Apakah dengan kita bersikap jujur lantas orang lain akan jujur kembali kepada kita? Jika kita memperlakukan orang lain dengan selalu menemaninya agar kita selalu di temani olehnya, maka dengan itu apakah orang lain tsb akan selalu senang dengan apa yang kita perlakukan padanya? Belum tentu apa yang kita perlakukan pada orang lain mendapatkan hasil yang baik pada orang lain tersebut, bisa jadi dia tidak menginginkan perlakukan seperti itu dari kamu, bisa jadi dia merasa terganggu oleh perlakuanmu kepadanya. Oleh karena itu, untuk agar orang lain memperlakukan seperti apa yang kita telah lakukan padanya bukan cara yang paling efektif. Kita harus memahami orang lain yang akan menjadi target empati pada kita, pahami orang itu terlebih dulu sebelum dipahami oleh orang tersebut.
Cara memahaminya bagaimana? Gampangnya dengan kita lebih sering berinteraksi dengannya, mengajukan beberapa pertanyaan yang membuat hubungan terasa lebih dekat, lalu kita akan “memahami” orang tsb, kemudian perlakukanlah orang tsb dengan apa yang dia ingin diperlakukan sebagaimana kita telah memahami seperti apa sebenarnya yang diinginkannya? Kemudian, orang tsb akan merasakan empati karena kita telah memahaminya, dan orang tsb akan melakukan hal serupa dengan kita. “Pahami dulu sebelum dipahami”.
Petuah tadi menjadi mesin penggerak bagi masyarakat kita untuk melakukan gotong royong, untuk mencapai kesejahteraan bersama. Di saat bergotong royong, kita dapat bertukar cerita dengan mereka, bercerita segala pengalaman, keluh-kesah, atau bahkan gosip. Hahaha, setidaknya itu akan mempererat tali persaudaraan kita sebagai sesama makhluk sosial. Namun, tradisi ini mulai di lupakan. Sebuah kehangatan bersama, telah terasa kuno, kerena kita sekarang dapat menyibukan diri sendiri dengan handphone kita. Meski begitu, kita masih membutuhkan kehangatan bersosialisasi dengan orang lain, karena kita makhluk sosial yang saling terhubung satu sama lain. Kehangatan itu dipadamkan oleh angin kemajuan zaman. Tradisi yang kemudian dilupakan oleh pembuatnya sendiri.
HARGA UNTUK TERUS MAJU
Perkembangan teknologi membuat hidup menjadi lebih instan, munculnya kebiasaan hidup instan ini membuat kita enggan untuk berupaya mendapatkan sebuah hasil dari jerih upaya kita. Dengan handphone dan akses internet kita dapat mencari berbagai informasi, mudahnya akses tsb membuat kita lengah pada kebohongan suatu informasi, “POST-TRUTH”. Saat banjirya informasi yang tidak valid atau hoax diberitakan disetel, dibaca, diberikan berulang kali maka kita akan menganggap informasi tsb seakan seperti suatu “kebenaran”. Dan lebih parahnya lagi, jika ini menyebar luas, dan memang sudah membanjiri seluruh bumi kita. Antisipasinya adalah dengan mengetahui level-level dari suatu informasi. Level yang pertama, “dari mana informasi itu didapatkan?” apakah dari sumber yang tidak diketahui otoritas keilmuannya atau sumber yang terpercaya keabsahannya? Silahkan bandingkan informasi dari berbagai sumber, lalu sajikan kesimpulan, Level kedua, “apakah informasi itu benar ada?” cari apakah ada kata kunci dalam info tsb, apakah tokoh A nyata? Jika nyata apakah benar ia melakukan X? Jika ia melakukan X, mengapa, kapan ia melakukannya? Baca keseluruhan isi informasi lalu research informasi yang dianggap penting darinya, Level ketiga, siapa penulisnya? Apa otoritas keilmuannya? Apa kompetensinya? Masih ada beberapa level-level keabsahan suatu informasi, namun 3 level dasar itu saya kira cukup.
Harga yang dibayar untuk terus maju; jarangnya pertemuan kontak mata secara langsung, menyebarnya hoax sehingga dianggap sebuah kebenaran, “matinya” kepakaran di era banjirnya informasi, pekerjaan yang sifatnya looping akan segera di ganti oleh mesin/AI, akan muncul pekerjaan baru dan tergantikannya beberapa pekerjaan, adaptasi akan kemajuan teknologi di seluruh wilayah, peningkatan kualitas manusia agar tidak tertinggal zaman, budayakan sifat prodiktif, inovatif dan kreatif ketimbang budaya konsumtif kita, peningkatan gaji para tenaga pekerja/pengajar, lestarikan budaya kelokalan kita agar masyarakat dunia mengetahui ciri khas dan jati diri kita, ajarkan etika; lingkungan, lalu lintas, dsb, turunkan beban anak-anak hingga orang dewasa untuk belajar di sekolah(pr/tugas) dan bekerja dengan memperbanyak waktu luang mereka agar dapat menghasilkan(produktif), dan masih banyak lagi pr yang harus kita kerjakan untuk menjadi negara maju.
FREEDOM OF SPEECH: KESALAHAN UMUM YANG MERESAHKAN.
Bebas bicara bukan berarti sampai mencerca, bebas bicara juga harus punya etika dan tujuan dari kita bicara, bukan karena bebas berbicara maka kita berkoar tentang personal seseorang, itu tidak penting dan tidak bijak. Di negara republik kita harus bisa memisahkan mana hal-hal yang publik dan mana yang private. Hal-hal yang bersifat private tidak seharusnya dibeberkan di ruang publik, ruang diskusi, media diskusi, kolom komentar, postingan publik. Selain menggangu privasi orang lain juga mendapat pidana, seharusnya. Tentukan tujuan, ajukan pernyataan, buktikan pernyataan dengan data-data, jadikan argumen. Berargumen dan mengajukan ide di ranah publik yaitu wilayah yang disebut sebagai polis atau res-publica, yaitu suatu realitas untuk merealisasikan ide-ide terbaik. Sementara hal-hal menyangkut oikos atau keluarga, ekonomi dan reproduksi diletakkan dalam ranah privat atau res-privata, Republikanime. Mencegah terjadinya ketersinggungan dengan membicarakan hal-hal yang berada di ranah publik di sebuah ruang/media yang bersifat global itu penting. Tahan/tunda dulu mengapa kita ingin menyatakan sesuatu, apa tujuan kita menyatakan sesuatu? Hal ini tak jarang kita lupakan dalam mengomentari suatu kebijakan, lukisan, hasil pemikiran/penelitian seseorang. Dengan hanya men-judge “Aku tidak suka karena memang tidak suka saja!” itu ambigu dan dungu untuk seorang yang telah diamanahi dengan memiliki akal untuk memcahkan masalah, menemukan konklusi dan menghasilkan teori dan menjadikannya ilmu pengetahuan. Akal kita di sia-siakan dengan pernyataan yang ambigu tadi. What an emotional person!
CATATAN KAKI:
https://prc-initiative.org/podcast/republik-republikanisme-dan-publik
https://thecolumnist.id/artikel/republikanisme-dan-hilangnya-yang-publik-2405
https://dero.desa.id/artikel/2023/5/13/rewang-tradisi-gotong-royong-masyarakat-jawa-yang-masih-terjaga-di-pedesaan
WHY: MENGAPA KITA TIDAK BAHAGIA? DAN MENGAPA HANYA SESAAT?
Hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia di antaranya adalah “kebahagian”, kebahagiaan telah lama dibincangkan oleh para filusuf, kaum rasionalis, saintis, pemikir kritis lainnya. Apa itu kebahagiaan? Dalam hal ini kebahagiaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu; kebahagiaan adalah saat ekspektasi, angan-angan, mimpi terwujud atau sesuai dengan realita. Saat selesai ujian sekolah, kita berekspektasi bahwa akan mendapatkan ranking pertama, dan ada dua kemungkinan yang akan terjadi yaitu sesuai dengan ekspektasi kita atau tidak. Jika ternyata pada kenyataannya kita mendapatkan ranking pertama, maka rasa bahagia itu muncul dan munculnya rasa bahagia itu anehnya hanya seperti efek luka saat jari kita terkena pisau, dan lama-lama akan sembuh, berbeda dengan rasa bahagia ia bukan sembuh namun luluh. Ia muncul sebagai efek samping dari angan-angan kita. Dan luluh, hancur, pudar hanya dalam sekejap. Dan bagaimana kita untuk mendapatkan kebahagiaan kembali? Yaitu saat ekspektasi sesuai/terwujud dengan kenyataan kita. Itu bagian pertama secara psikologis. Yang kedua, secara biologis, rasa kebahagiaan itu adalah hasil dari hormon-hormon kimiawi di dalam otak kita. Yang merangsang kita menjadi bahagia, ceria, riang gembira, hormon adrenaline meningkat dan membuat kita semangat akan melakukan sesuatu. Hormon dopamine membuat kita menyukai apa yang kita lakukan, dan hormon-hormon lainnya yang berperan aktif dalam kebahagiaan. Dan pudar begitu saja. Untuk mendapatkan kebahagiaan itu kembali, kita harus merancang ulang hormon-hormon kita, dan di masa depan ini kemungkinan besar akan menjadi agenda baru homo sapiens. Nah, itu secara biologis. If you imagine, kita akan bahagia seumur hidup. Apa yang akan terjadi pada kita dan peradaban yang kita diduduki? Kemungkinan-kemungkinan itu bisa terjadi. Apa kemungkinan itu? Kita tidak akan lagi mengejar dan berjuang lagi untuk menggapai kebahagiaan lagi, yang tadinya kita ingin hidup makmur kita tidak menginginkannya lagi karena kita sudah merasa bahagia dan meski tidak dengan “kemakmuran” sekalipun. Mungkin, kita akan duduk-duduk saja, saling berinteraksi dan tertawa terbahak-bahak. Itukan yang sebagian dari kita inginkan? Akankah kebahagiaan itu membawa kita kepada kebahagiaan yang tidak bahagia? Kita secara evolusi, tidak dirancang untuk duduk manis diam-diam saja. Kebutuhan akan sexual dan survival adalah hasil dari evolusi kita yang masih terbawa hingga sekarang. Bayangkan sekenario dimana jika kita sedang lapar namun kita masih bahagia karena kita telah mencapai kebahagiaan yang abadi, apakah kita masih membutuhkan kekenyangan dan berusaha menghentikan hasrat lapar kita? Benar, tidak. Karena kita merasa sudah bahagia walaupun lapar. Karena sudah bahagia akhirnya kita merasa tidak memerlukan makan untuk menghentikan hasrat akan lapar. Lama-lama kita kekurangan gizi, nutrisi, dan kita “mengeksekusi” diri sendiri dengan tidak makan dan bahkan minum. Jadi, apakah kebahagiaan dan kenyamanan sebanding dengan survival?
Kita tidak bahagia karena kita tidak dirancang untuk bahagia, mengapa? Karena kita butuh untuk survival, mengapa sexual juga perlu? Karena, kita butuh keturunan dan semakin banyak keturunan akan membentuk suatu komunitas dan semakin banyak komunitas akan memperkuat kita pada ancaman alam yang akan melanda. Saat kita ingin makan daging, kita perlu membunuh hewan, contoh mamut. Homo sapiens perindividu tidak akan bisa berbuat apa-apa untuk membunuh mamut, namun karena kita dapat membangun sebuah kerjasama dan membentuk komunitas, di tambah kerjasama antar homo sapiens itu terorganisir maka akan lebih mudah untuk membunuh seekor mamut. Kerjasama dan kekompakan adalah kunci dari kebertahanan hidup homo sapiens, dan oleh karena itu kita masih berevolusi s.d. saat ini. Mengapa hanya sesaat? Karena kita tidak dirancang untuk bahagia tadi, alasan mengapa kita bahagia hanya sesaat saja.
PESAN KESAN
Dalam bacotan unsistematis ini, jika diperhatikan dengan baik-baik, maka kita bisa menemukan kegeseran-kegeseran yang terjadi pada diri kita sebagai homo sapiens dan kita sebagai bangsa indonesia nusantara. Mengapa kita perlu beradaptasi? Karena kita telah berevolusi, namun otak kita belum berevolusi pada tahap otak modern, karena periode hidup homo sapiens zaman dulu(pramodern) lebih lama di bandingkan zaman modern(modern/post modern).
Begitu juga, bangsa kita nusantara. Belum juga terlepas dari mental feodal(terjajah), mental miskin, dan belum juga berobat dari penyakit malas membaca dan menulis. Why people? Ketika ada orang yang membaca menganggap dia kutu buku? Karena kita kebanyakan tidak suka membaca buku dan jika ada orang yang terlihat suka membaca buku kita melabelinya dengan si kutu buku. Dan ketika kita sudah tidak malas membaca dan menulis kita masih punya penyakit malas berpikir, malas mengantre, malas instropeksi diri dari kesalahan dan malah sibuk menyalahkan dan mencari kesalahan orang lain.
Saya tidak akan mencoba menuliskan apa jati diri kita secara eksplisit.
Saya hanya menyajikan tulisan dengan sumber dan pendapat saya. Silahkan renungkan dan jika sudah mengetahui. Kita jangan simpan dalam benak saja, kita terapkan apa yang ada di dalam benak kita pada kehidupan kita “agar kita dapat membangun ‘surga’ di bumi yang kita jadikan hamparan ini.” janganlah penuhi hamparan ini dengan sampah-sampah di mana-mana, sedangkan kamu mengetahui. Janganlah jadikan hamparan kita ini menjadi tak layak dihuni oleh penghuninya sendiri.
Kejatidirian kita sebagai homo sapiens dan sebagai dari bagian sebuah bangsa akan terus berkembang mengikuti keberkembangan diri dan zaman. Jika dulu kita adalah pribadi yang nakal, seiring berkembangan dan bertumbuhnya kita maka kita akan berubah. Kita yang sejati adalah kita yang menyesuaikan dengan zaman agar tetap relevan. Jati diri kita dulu akan beda dengan sekarang dan masa yang akan datang. Jadi, apakah jati diri kita itu tidak orisinil? Tidak, jati diri kita yang orisinil adalah jati diri kita yang tidak terikat pada ruang dan waktu, yang akan tetap menjadi seperti itu, karena tidak terikat pada ruang dan waktu. Karena kita terikat pada ruang dan waktu, maka kita harus menyesuaikan pada dimana dan kapan kita berada.
Daftar sumber yang belum dituliskan:
https://www.kompas.com/tren/read/2023/05/12/102854565/mengapa-orang-indonesia-masih-malas-membaca?page=all
https://penerbitdeepublish.com/malas-membaca/
https://www.kompasiana.com/muhamadnurazhar470306/63cf298b88d103056e7a1d62/kurangnya-buku-membuat-masyarakat-indonesia-malas-membaca
Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus.